Truk yang membawa becak rampasan tersebut telah meninggalkan kami bertiga, kemudian berbelok ke ke kanan dan tidak terlihat kembali. Sementara Tukang becak tersebut masih menangis tanpa henti, menyisakan kenangan yang sangat pahit. Beberapa hari kemudian saya membaca di salah satu surat kabar, kalau becak-becak yang telah dirampas tersebut oleh para petugas diceburkan ke laut, sebagai barang yang tidak ada harganya sama sekali. Memang mereka memandang bahwa becak itu yang membuat keindahan kota menjadi berkurang, supaya tidak ada lagi becak, maka satu-satunya jalan adalah memasukkan ke laut, sehingga lama kelamaan, becak harus hilang dari peredaran. Sudut pandang yang sangat berlawanan dengan tukang becak, yang memandang becak bukan sebagai masalah yang kecil, tetapi masalah yang sangsat besar. Bahkan saya membaca di surat kabar seorang tukang becak sampai ada yang melakukan bunuh diri, karena becaknya dirampas. Sebelum bunuh diri, ia menulis surat sebagai pesan terakhir, kenapa ia bunuh diri. Masalahnya hanya satu “becaknya dirampas”.
Orang-orang tersisih tersebut ingin diperlakukan adil sebagai warga Indonesia. Tetapi kemana, harus minta peradilan? Para orang tersisih itu tidak tahu. Akhirnya hanyalah berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Adil yang dapat memberikan keadilan seadil-adilnya. Saya mendoakan semoga para tukang becak yang dirampas becaknya dan orang yang tersisih di perusahaan tetap tabah dan sabar serta tidak melakukan bunuh diri, meskipun hal itu sangat sulit, tetapi kalau bisa maka ia akan menjadi orang yang mulia di sisi Tuhan.
Sumber artikel : Mohammad Suyanto
0 komentar: on "BELAJAR DARI TUKANG BECAK (2)"
Posting Komentar