Jabatan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Meskipun demikian, saat ini banyak jabatan yang diperebutkan dengan segala cara. Ketika mendengar selentingan bahwa Khalifah Sulaiman menyebut calon penggatinya adalah Umar bin Abdul Azis, maka Umar datang menemui Menteri kepercayaan Khalifah Sulaiman yang bernama Raja’ bin Haiwah. Umar meminta untuk menyampaikan kepada Khalifah, bahwa ia tidak menyukai itu dan bila Khalifah tidak menyebut namanya, supaya Raja’ jangan mengingatkan namanya kepada Khalifah. Ia sekarang sedang asyik dalam membina dirinya untuk menjadi insan taqwa, ia sedang tekun beribadah, mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah.
Ia ingin lebih banyak bicara dengan Tuhan daripada berbicara dengan manusia. Ia tidak ingin diganggu dengan kesibukan-kesibukan dunia yang fana. Raja’ menjawab : “Apakah Anda mengira, bahwa nama Anda akan dicantumkan sebagai pengganti keluarga Abdul Malik?. Aku tidak mengira, bahwa Anda akan berprasangka seperti itu”. Dengan jawaban Raja’ tersebut hati Umar bin Abdul Azis menjadi lega.
Pada hari Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, berkumpullah rakyat beserta pembesar-pembesar Negara di masjid. Di sanalah dibuka surat wasiat Khalifah yang masih rahasia itu. Tidak ada manusia yang tahu nama siapakah yang tercantum dalam wasiat itu, kecuali seorang saja, yaitu Raja’ bin Haiwah sendiri. Menteri yang terpercaya itupun tampillah ke depan membuka surat wasiat itu dan kemudian mengumumkan nama Umar bin Abdul Aziz. Mendengar nama itu yang muncul, maka seluruh hadirinpun serentak menyatakan persetujuannya. Tetapi Umar bin Abdul Aziz yang hadir dalam kalangan orang yang ramai itu sangat terkejut bagaikan disambar petir di siang bolong kata Firdaus A.N., iapun tertipu oleh kecerdikan Raja’ dan iapun mengucapkan Inna Lillahi wa Inna ilahi Raji’un, seperti orang yang mendapat musibah, bukan seperti orang yang mendapat rahmat atau seperti orang yang bersyukur. Kemudian Umar berkata ”Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku baik secara rahasia ataupun terang-terangan.” Ia tak mengelakkan diri dari jabatan yang besar itu dan kemudian ia naik mimbar dan berkata kepada hadirin ”Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dahulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, tidak pula musyawarah kaum Muslimin. Dan sesungguhnya aku kini membebaskan Saudara-saudara sekalian dari baiat yang terletak di atas pundak Saudara-saudara terhadapku, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas.”
Dengan begitu Umar bin Abdul Aziz mencoba mempraktekkan demokrasi musyawarah dalam Islam dengan mengubah praktek-praktek yang selama Bani Umayah memerintah, sejak Zaman Mu’awiah bin Abu Sofyan demokrasi itu telah dilanggar. Tetapi orang ramai telah berteriak serentak berkata ”Kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin dan kami telah rela terhadap engkau. Perintahlah kami dengan baik dan berkah”.
Sumber Artikel : M.suyanto
Ia ingin lebih banyak bicara dengan Tuhan daripada berbicara dengan manusia. Ia tidak ingin diganggu dengan kesibukan-kesibukan dunia yang fana. Raja’ menjawab : “Apakah Anda mengira, bahwa nama Anda akan dicantumkan sebagai pengganti keluarga Abdul Malik?. Aku tidak mengira, bahwa Anda akan berprasangka seperti itu”. Dengan jawaban Raja’ tersebut hati Umar bin Abdul Azis menjadi lega.
Pada hari Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, berkumpullah rakyat beserta pembesar-pembesar Negara di masjid. Di sanalah dibuka surat wasiat Khalifah yang masih rahasia itu. Tidak ada manusia yang tahu nama siapakah yang tercantum dalam wasiat itu, kecuali seorang saja, yaitu Raja’ bin Haiwah sendiri. Menteri yang terpercaya itupun tampillah ke depan membuka surat wasiat itu dan kemudian mengumumkan nama Umar bin Abdul Aziz. Mendengar nama itu yang muncul, maka seluruh hadirinpun serentak menyatakan persetujuannya. Tetapi Umar bin Abdul Aziz yang hadir dalam kalangan orang yang ramai itu sangat terkejut bagaikan disambar petir di siang bolong kata Firdaus A.N., iapun tertipu oleh kecerdikan Raja’ dan iapun mengucapkan Inna Lillahi wa Inna ilahi Raji’un, seperti orang yang mendapat musibah, bukan seperti orang yang mendapat rahmat atau seperti orang yang bersyukur. Kemudian Umar berkata ”Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku baik secara rahasia ataupun terang-terangan.” Ia tak mengelakkan diri dari jabatan yang besar itu dan kemudian ia naik mimbar dan berkata kepada hadirin ”Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dahulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, tidak pula musyawarah kaum Muslimin. Dan sesungguhnya aku kini membebaskan Saudara-saudara sekalian dari baiat yang terletak di atas pundak Saudara-saudara terhadapku, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas.”
Dengan begitu Umar bin Abdul Aziz mencoba mempraktekkan demokrasi musyawarah dalam Islam dengan mengubah praktek-praktek yang selama Bani Umayah memerintah, sejak Zaman Mu’awiah bin Abu Sofyan demokrasi itu telah dilanggar. Tetapi orang ramai telah berteriak serentak berkata ”Kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin dan kami telah rela terhadap engkau. Perintahlah kami dengan baik dan berkah”.
Sumber Artikel : M.suyanto
0 komentar: on "PERINTAHLAH KAMI DENGAN BAIK DAN BERKAH"
Posting Komentar